Kehidupan yang bermakna kekekalan

Stefanos Ian
3 min readDec 30, 2021

--

Zona Nyaman Manusia Dalam Dunia vs Zona Nyaman Manusia Dalam Kekekalan

“Ketika kecerdasan seseorang selalu bersama Tuhan, keinginannya tumbuh melampaui segala ukuran dan menjadi sebuah kerinduan yang berkelanjutan di dalam Allah, kehidupannya diubah menjadi pernyataan kasih Ilahi. Melalui partisipasinya pancaran Ilahi terus-menerus keluar daripadanya, kecerdasannya sepenuhnya dipenuhi dengan cahaya-Nya; terang-Nya menyatukan diri manusia dengan-Nya dalam beragam aspek, itu mengarahkan segala aspek hanya bagi-Nya, Ia mengisinya dengan segala kerinduan yang tidak dapat dipahami dan terus-menerus kepada-Nya dan dengan cinta yang tak henti-hentinya, dengan demikianlah Ia menariknya dengan sepenuhnya dari hal-hal duniawi ke yang hal-hal Ilahi.” — Maximus the Confessor

Pada dasarnya kehidupan manusia itu memiliki kebebasan untuk memilih jalannya selama manusia itu hidup di dunia ini, karena manusia diciptakan dalam gambar dan rupa daripadad Allah (Kejadian 1:26). Tetapi kejatuhan manusia telah membuat manusia kehilangan kemuliaan (gambar dan rupa — Roma 3:23) yang Allah berikan, sehingga manusia memilih kebebasannya dengan bergantung kepada dirinya sendiri.

Pengkotbah berulang-kali mengatakan, manusia melakukan segala sesuatunya di dunia ini adalah kesia-siaan. Mengapa demikian? Ketika manusia tidak memiliki makna hidupnya dalam kekekalan maka manusia hanya mencari kepuasannya yang sesungguhnya tidak akan pernah memuaskan dirinya. Tetapi zona ini selalu menjadi zona kehidupannya yang selalu mengalami “restart” hari ke sehari dan menjadi kenyamanannya. Dunia akan mengikatnya menjadi tempat untuk manusia berfokus kepada dirinya sendiri.

Manusia yang menolak memiliki makna kehidupan kekal yang diberikan Allah untuk itu manusia akan selalu mengandalkan kekuatannya, dan selalu menjadi polemik bagi kehidupannya (karena manusia berusaha mengontrol kehidupan itu demi keamanannya dan kekuasaannya). Segala usaha ini yang dilakukan manusia yang seharusnya adalah pewaris tahta kekekalan (predestinined), menjadi lebih rendah daripada realita kehidupan yang dijanjikan itu melalui kebebasan (freewill) yang dipakainya.

Kita manusia ketika diciptakan bukanlah menjadi obyek Allah, tetapi kitalah subyek Allah. Yang terbesar kita dijadikan adalah untuk menyatakan kasih-Nya, tetapi melalui proses dan sebuah perjalanan yang kita miliki di dunia ini, kita adalah gambar dan rupa daripada Allah itu sendiri yang hidup, dan menjadi sebuah keinginan-Nya manusia yang hidup itu menjadi serupa dengan Anak-Nya melalui jalan pemulihan kehidupan melalui rancangan-Nya (apokatastasis). Obyektifitas manusia adalah menyatu dengan Dia senantiasa dan sepanjang masa, menikmati janji Ilahi yang dirancangkanNya, melalui jalan kebebasan yang manusia dapat pilih sehingga dapat bertumbuh.

Kesatuan manusia dengan Allah akan menghasilkan kehidupan yang berbuah (beranakcucu, bertambah banyak — menjadi anak-anak-Nya) seperti yang Allah inginkan sejak pada mulanya untuk kebaikan itu semua memenuhi bumi (Kejadian 1:28). Tetapi memang bukan bumi yang kita pijak hari ini, karena yang kita pijak hari ini telah penuh dengan kesia-siaan tadi. Tetapi ada dunia yang baru yang telah dijanjikanNya. St. Gregorius dari Nyssa mengatakan, “kehidupan itu tidak akan terhenti ketika kita mencapai keilahian, tetapi akan berlanjut, kita menaiki tangga terus dan terus bersama dengan Dia, seperti anak tangga yang tidak berujung, semakin tinggi dan semakin tinggi.” Sebuah gambaran Allah menciptakan kehidupan yang tidak ada batas, yang abadi yang dikatakannya “sungguh amat baik” yang telah dijadikan-Nya itu menjadi nyata. Dan manusia akan hidup dalam zona kenyamanan Ilahi yang dijanjikanNya dipenuhi oleh Dia yang memberi kehidupan itu.

Kehidupan hari ini adalah kehidupan awal langkah menuju sebuah keabadian (bukan kematian) yang dilingkupi oleh kasih yang sejati, kasih yang benar, dan menuju kepada hidup tanpa kesia-siaan, tidak seperti yang telah diberikan dunia kita hari ini. Manusia berasal dari kekekalan, yang mengalami kematian oleh kejatuhannya, tetapi kita diajak untuk melihat jalan kepada kekekalan itu kembali, apakah kita ingin melihat realita kelak janji Ilahi yang akan diberikanNya?

--

--

Stefanos Ian
Stefanos Ian

Written by Stefanos Ian

In the Name of Father, Son And Holy Spirit, One God. Amin. I am a Subdeacon Stefanos a servant from the Coptic Orthodox Church in Yogyakarta Parish.

No responses yet