Konsili Kalsedon Tahun 451 Masehi: Perspektif Gereja Ortodoks Koptik dan Ortodoks Timur

Stefanos Ian
4 min readOct 14, 2024

--

Konsili Kalsedon, yang diadakan pada tahun 451 Masehi, merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Kekristenan. Konsili ini diadakan untuk membahas kontroversi teologis yang muncul seputar sifat Kristus, yaitu apakah Kristus memiliki satu atau dua sifat—keilahian dan kemanusiaan. Konsili ini tidak hanya memengaruhi ajaran teologis, tetapi juga memicu perpecahan yang berlangsung hingga hari ini, terutama antara Gereja Ortodoks Koptik dan Gereja Ortodoks Timur. Artikel ini akan membahas pandangan dari kedua Gereja terkait Konsili Kalsedon, serta dampaknya terhadap perkembangan teologi dan sejarah Gereja.

Latar Belakang Konsili Kalsedon

Konsili Kalsedon merupakan yang keempat dari tujuh konsili ekumenis yang diakui oleh Gereja Ortodoks Timur dan Gereja-gereja setelahnya dibawah Byzantin. Konsili ini dilatarbelakangi oleh kontroversi teologis yang dimulai dari ajaran Eutykhes, seorang biarawan dari Konstantinopel yang mengajarkan bahwa Kristus hanya memiliki satu sifat, yaitu keilahian (seperti setetes minyak yang bercampur air di tengah lautan). Ajaran ini, yang dikenal sebagai Monofisitisme. Monofisitisme bertentangan dengan ajaran seperti yang telah dipegang Gereja-gereja Byzantin menekankan bahwa Kristus memiliki dua sifat, yaitu keilahian dan kemanusiaan yang sempurna.

Dalam Konsili Kalsedon, ajaran Eutykhes dinyatakan sebagai heresi, dan doktrin baru dirumuskan dalam Definisi Kalsedon, yang menyatakan bahwa Kristus adalah satu pribadi dengan dua sifat yang tidak bercampur, tidak berubah, tidak terbagi, dan tidak terpisahkan—baik sebagai Allah sepenuhnya maupun manusia sepenuhnya.

Pandangan Gereja Ortodoks Koptik

Gereja Ortodoks Koptik, mendapatkan tuduhan yang tidak berimbang sehingga menolak keputusan Konsili Kalsedon. Sesungguhnya Gereja Ortodoks Koptik tidak pernah mendukung ajaran Monofisitisme sejak kala itu dituduhkan.

Berdasarkan kesepakatan 150 bapa-bapa Gereja jauh waktu sebelumnya di Konsili Efesus tahun 431 telah disebutkan hal Miaphysit yang kala itu kehadiran Gereja Ortodoks Koptik diwakili Paus & Patriark Cyril dari Alexandria. Miaphysitisme dikatakan St Cyril merupakan keyakinan bahwa Kristus memiliki satu sifat yang menyatukan keilahian dan kemanusiaan-Nya secara “tidak terpisahkan”, tetapi tanpa pencampuran atau pengurangan dari salah satu sifat tersebut.

Penolakan terhadap tuduhan serius terhadap Gereja Ortodoks Koptik sebagai Monofisitisme di Konsili Kalsedon memicu perpecahan antara Gereja Ortodoks Koptik dan gereja-gereja lain yang menerima keputusan konsili tersebut, seperti Gereja Roma dan Gereja Konstantinopel (Byzantin). Dalam pandangan Gereja Ortodoks Koptik, keputusan Konsili Kalsedon tidak menekankan pada pengakuan untuk keutuhan dan persatuan sifat Kristus sebaliknya dengan pembagian sifat Kristus menjadi dua entitas (natur) yang terpisah ini (seperti yang diajarkan heresi Nestorius), ajaran ini dapat merusak integritas dari inkarnasi Yesus Kristus sebagai Allah yang sepenuhnya hadir dalam daging (kemanusiaan).

Gereja Ortodoks Koptik kembali menekankan bahwa Miaphysitisme bukanlah Monofisitisme yang menyangkal kemanusiaan Kristus, jelas St Cyril telah menyatakan bahwa keilahian dan kemanusiaan Kristus sepenuhnya menyatu tanpa adanya percampuran atau penghilangan salah satu sifat.

Pandangan Gereja Ortodoks Timur

Berbeda dengan Gereja Ortodoks Koptik, Gereja-gereja Ortodoks Timur menerima keputusan Konsili Kalsedon dan mendukung definisi dua sifat Kristus. Dalam pandangan mereka, pengakuan bahwa Kristus memiliki dua sifat—keilahian dan kemanusiaan—merupakan pengakuan yang setia terhadap ajaran Injil dan tradisi para Bapa Gereja.

Meskipun Gereja Ortodoks Timur menekankan bahwa klaim pengakuan dua sifat Kristus itu tidak berarti bahwa kedua sifat tersebut terpisah atau tidak saling berhubungan. Sebaliknya, kedua sifat ini sepenuhnya hadir dalam satu pribadi Kristus, dan saling berinteraksi tanpa meniadakan atau merusak satu sama lain. Mereka percaya bahwa pandangan ini selaras dengan ajaran konsili-konsili ekumenis sebelumnya, termasuk Konsili Nicea (325) dan Konsili Konstantinopel (381), yang menegaskan kemanusiaan dan keilahian Kristus.

Bagi Gereja Ortodoks Timur, keputusan Konsili Kalsedon adalah cara untuk mempertahankan keseimbangan teologis dalam memahami Kristus sebagai Tuhan dan manusia. Mereka melihat bahwa setiap upaya untuk memadukan atau menyatukan dua sifat tersebut secara berlebihan akan mengurangi salah satu sifat Kristus, sehingga merusak ajaran dasar tentang penyelamatan umat manusia.

Perbedaan Teologis dan Implikasinya

Perbedaan teologis antara Gereja Alexandria dan Gereja Byzantin kala itu mengenai sifat Kristus menjadi salah satu penyebab utama dari perpecahan antara Gereja-gereja Timur dan Barat. Meskipun baik Gereja Ortodoks Koptik maupun Ortodoks Timur setuju bahwa Kristus adalah sepenuh Allah dan sepenuh manusia.

Implikasi dari perbedaan ini sangat luas. Gereja Ortodoks Koptik, bersama dengan gereja-gereja Oriental lainnya seperti Gereja Ortodoks Armenia dan Gereja Ortodoks Siria, tidak mengakui keputusan Konsili Kalsedon dan memilih untuk mempertahankan pandangan Miaphysitisme mereka. Sebaliknya, Gereja Ortodoks Timur tetap berpegang teguh pada keputusan konsili tersebut dan menganggapnya sebagai bagian integral dari ajaran iman Kristen.

Perbedaan ini juga menciptakan tantangan bagi upaya dialog dari waktu-ke — waktu dan usaha rekonsiliasi antara kedua Gereja. Meskipun sejak abad ke-20 ada beberapa usaha untuk menjembatani perbedaan ini, seperti melalui dialog teologis dan pertemuan ekumenis, perbedaan teologis tentang Kristologi tetap menjadi salah satu isu utama yang belum terselesaikan sepenuhnya.

Dampak Konsili Kalsedon Terhadap Kehidupan Gereja

Dampak Konsili Kalsedon sangat signifikan, tidak hanya dari segi teologis, tetapi juga dari segi politik dan sosial. Konsili ini menandai awal dari perpecahan gereja yang lebih besar, terutama antara gereja-gereja yang mengikuti keputusan Kalsedon dan Gereja-gereja Oriental yang menolak keputusan tersebut. Perpecahan ini memperdalam perbedaan budaya dan politik antara kekaisaran Bizantium di Timur dan daerah-daerah seperti Mesir, Suriah, dan Armenia, yang kemudian menjadi pusat-pusat utama dari gereja-gereja non-Kalsedonian.

Di Mesir, perpecahan ini memperkuat identitas Gereja Ortodoks Koptik sebagai Gereja yang terpisah dari kekaisaran Bizantium. Gereja Ortodoks Koptik menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi Bizantium, dan pada akhirnya mempengaruhi identitas keagamaan dan politik masyarakat Mesir hingga saat ini. Di sisi lain, Gereja Ortodoks Timur, yang tetap setia pada keputusan Kalsedon, berkembang menjadi institusi yang sangat berpengaruh di kekaisaran Bizantium dan kemudian di berbagai negara Eropa Timur.

Kesimpulan

Konsili Kalsedon 451 Masehi adalah titik balik dalam sejarah Kekristenan, yang menciptakan perbedaan teologis mendalam antara Gereja Ortodoks Koptik dan Gereja Ortodoks Timur. Meskipun kedua Gereja ini berbagi banyak tradisi dan keyakinan yang sama, perbedaan dalam memahami sifat Kristus membuat mereka menempuh jalan yang berbeda. Bagi Gereja Ortodoks Koptik, Miaphysitisme merupakan penegasan persatuan sempurna antara keilahian dan kemanusiaan Kristus, sementara bagi Gereja Ortodoks Timur, keputusan Konsili Kalsedon adalah pengakuan yang sah tentang dua natur Kristus.

Dialog teologis antara kedua gereja terus berlangsung dan pertemuan terbaru di bulan September 2024. Tetapi, perbedaan ini tetap menjadi salah satu tantangan utama dalam upaya penyatuan kembali seperti sebelum perpecahan. Kendati demikian, sejarah ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman teologis yang tidak berdiri sendiri-sendiri dalam membentuk identitas dan perkembangan gereja-gereja Kristen sepanjang masa.

--

--

Stefanos Ian

A servant Subdeacon Stefanos from the Coptic Orthodox Church Yogyakarta. I am a writer, scholar, & social worker.