Sakramen: Sarana Allah Menggunakan Indera Manusia, Sehingga Manusia Hidup Dalam Misteri Ilahi Oleh Kasih

Stefanos Ian
8 min readJan 12, 2022

--

Banyak orang percaya yang berkata: Betapa aku ingin melihat rupa-Nya yang indah, sosok-Nya, pakaian-Nya, kasut-Nya! Mengapa harus di sini? Karena Anda akan melihat Dia, Anda akan menyentuhNya, Anda makan Dia, dan ketika kerinduan Anda ingin melihat pakaian-Nya maka Dia memberikan diri-Nya untuk dikenakan, sehingga tidak hanya untuk dilihat, tetapi untuk disentuh, dan untuk dimakan dan diterima di dalam diri Anda.

St. Yohanes Krisostomos

Pendahuluan

Apakah Anda juga pernah bertanya seperti diatas? Berapa banyak daripada Anda hanya menyadari Allah adalah obyek hidup Anda? Bagaimana Allah menjadi subyek kehidupan kita seperti dikatakan St Paulus, “mengenakan Kristus”?
Jawaban pertama-tama, bertobatlah dan kembalilah ke jalan yang benar hanya melalui Gereja Kudus! Tuhan Yesus berkata, “Kerajaan Sorga sudah dekat”. Kerohanian bukanlah rasa-rasa, antara orang beriman satu dengan lainnya yang tidak sama.

Beriman berarti bersatu bersama sang ibu (Gereja), dialah akan melatih Anda agar berpengalaman dalam rohani melihat Dia, merasakan Dia, menyentuh Dia, mengenakan Dia, maupun memakan Dia, sungguh Dia masuk di hidup Anda di dalam iman kerohanian Anda, yang dianugerahkan Allah melalui Sakramen. Amsal 9:1–18 adalah Allah berfirman tentang Sakramen itu sendiri:
Hikmat telah mendirikan rumahnya, menegakkan ketujuh tiangnya, … yang lurus jalannya diundangnya dengan kata-kata: “Siapa yang tak berpengalaman, singgahlah ke mari”; dan kepada orang yang tidak berakal budi katanya: “Air curian manis, dan roti yang dimakan dengan sembunyi-sembunyi lezat rasanya.” Tetapi orang itu tidak tahu, bahwa di sana ada arwah-arwah dan bahwa orang-orang yang diundangnya ada di dalam dunia orang mati.

Ketika kita menghadiri Sakramen, Gereja baik di dunia ini (di dalam dunia orang mati → dikatakan Amsal 9:18), dan di Firdaus menyatu, orang-orang kudus di dunia, dan orang-orang Kudus di Firdaus adalah satu Tubuh, semuanya menerima makanan hidup kekal melalui Tubuh Kristus yang terlihat dengan mata kerohanian.

7 Tiang = 7 Sakramen

Sakramen

Sakramen bukanlah tradisi manusia seperti yang dipahami denominasi sehingga sesuatu yang hanya bersifat simbolis. Sakramen merupakan Perintah Allah, dan ini adalah Tradisi Suci yang Allah rancangkan dalam hidup manusia dan yang berulang kali Allah memperlihatkan melalui orang-orang pilihanNya di Perjanjian Lama.

Gereja Kudus mengkanonkan menjadi Doktrin dan Dogma, dan Sakramen dihidupi menjadi sesuatu yang hidup. Hanya melalui sakramen orang percaya melalui imannya akan menerima misteri kasih berupa rahmat yang tak kelihatan dalam rupa tanda lahiriah yang terlihat dan terdengar. Sehingga sakramen tidak hanya sekedar simbol atau tanda abstrak literal, seperti yang diungkapkan Martin Luther maupun Zwingli, tetapi Gereja Kudus sungguh mengalami dan tahu, sebuah tanda sejati dan nyata. Tanda sejati dan nyata ini hanya akan diketahui ketika kita memilih dekat pada sakramen itu, kita akan melihat sakramen ini bersumber dalam Tuhan Yesus Kristus, yang pernah mengemban tugas dari Bapa di dunia agar dunia kembali mengenal Allah Tritunggal Kudus itu. Hari ini tugasNya telah dimandatkan kepada para penerusnya Rasul kudus dan ajaran dilanjut oleh murid-murid kudus yang Rasuli tertahbis menjadi bapa-bapa bagi umatNya di dunia, dan tetap terlestarikan dan terjaga warisan Kristus ini, sembari menunggu kedatanganNya kedua kali kelak.

Sakramen ditentukan oleh Allah, dan Tuhan Yesus Kristus sang Allah yang berinkarnasi memperlihatkan cara penuh rahmat Allah untuk kita hidupi, karena akan mengubah kita. Allah memanggil kita dan menunggu kita menjawab-Nya melalui iman dan cinta. Sehingga sakramen merupakan sebuah undangan resmi kepada kita semua, dengan harapan Allah bahwa kita pun mengambil bagian pada kehidupan ilahi bersama Kristus (Yohanes 6:56).

Ketujuh Sakramen terbagi dua bagian, sakramen yang membawa keselamatan hidup kekal (1–4), dan sakramen yang memberkati hidup kita penuh dengan anugerahNya (5–7).

  1. Sakramen Baptis (pembersihan kemanusiaan — Mazmur 51:5,9)
  2. Sakramen Krisma (Konfirmasi — Yohanes 14:16,17,26)
  3. Sakramen Pertobatan & Pengampunan Dosa (1 Yohanes 1:8–10)
  4. Sakramen Ekaristi (Matius 26:26, Markus 14:22, Lukas 22:19, Yohanes 6:53–58)
  5. Sakramen Matrimoni Kudus (Kidung 12:3 — Gambaran pernikahan di Cana dengan mempelai prianya St Simon orang Zealot)
  6. Sakramen Keimamatan (Janji: Matius 16:18–19, Pentahbisan: Yohanes 20:21–23)
  7. Sakramen Perminyakan Orang Sakit (Markus 6:13)

Lebih rincinya pembelajaran tentang Sakramen dapat hadir ke program pemuridan Gereja Ortodoks.

Misteri Kasih

Misteri kasih ini mengubah hidup kita agar kita hidup dikembalikan kepada fitrahNya yang tidak bercacat, seperti dikatakan Efesus 1:3–6“… supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya…. untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,… di dalam Dia, yang dikasihi-Nya.” St. Paulus sedang menegaskan tingkat kesulitan dalam tujuan yang dinyatakan Allah agar menjadikan kita sebagai orang-orang pilihan di hadapan-Nya di dalam kasih yang abadi sebagai penggenapan akhir. Tujuan akhir Allah tetap menjadi misteri bagi pikiran manusia yang terbatas, dan membutuhkan penjelasan besar yang khusus dan secara pribadi daripada Allah itu sendiri, yaitu melalui Sakramen.

Pengobatan Rohani

Dalam tatanan biologis ketika seorang bayi lahir umumnya sehat, tetapi seiring berjalannya waktu ia menjadi sasaran penyakit yang menindas dan menyiksa hidupnya. Maka hal ini tidak jauh berbeda dengan tatanan rohani juga, meskipun jiwa telah disucikan dan bebas dari segala dosa melalui baptisan, kehidupannya masih bisa tetap dapat terkena noda dan penyakit rohani selama hidup.

Allah sendiri menetapkan melalui Sakramen Gereja, memberikan manusia bagaimana bimbingan rohani untuk hidup kekal, penyembuhan, dan pendamaian dengan-Nya. Tuhan Yesus Kristus sendiri menetapkan kepada murid-muridNya perihal ketujuh Sakramen (penggenapan Amsal 9:1) ini dengan pernyataan:

  • Aku berkata kepadamu, sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di surga, dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga.” (Mat 16:19; 18:18)
  • Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20:22–23)

Kehidupan Orang Kristen Denominasi Di Tengah Sakramen Yang Dihilangkan Protestan

Ketahuilah, para pengikut Lutheran di Jerman dalam perjalanan waktunya sampai hari ini telah mengembalikan “sakramen” kedalam kehidupan bergereja mereka. Gereja mereka memiliki hirarkis, dan di hari ini telah dibangun dialog bersama dengan Lutheran-Ortodoks (melalui Ekumenikal Patriark) dan dalam proses penyatuan sakramen.

Tetapi sakramen semakin terhilangkan ketika reformasi berlanjut dengan penafsiran pribadi lepas pribadi oleh para Teologian seperti John Calvin, Jacobus Arminius, dll. Sesungguhnya kehidupan orang-orang yang mengikuti Kristen reformasi ini mengalami kehampaan dalam kerohanian, adapun dikembangkan atau berkembang hanya sesuatu rasa, itupun dari fisiologi manusia, dan tidak tahu bedanya dengan kerohanian via sakramental, karena banyak telah terhilang atau diubah.

Bukti nyata perjalanan 500 tahun, banyak kehidupan orang bergereja tidak lagi mengenal sungguh kasih Allah itu, mereka hanya berkata “kami mengasihi” dengan pujian, dengan puisi, dengan orasi-orasi, tetapi menjadi pertanyaan bagaimana tahu mengasihinya itu sesuai dengan yang Allah kehendaki? Dan apa yang dilakukannya? Umumnya mereka kembali ke cara di dalam dunia ini yang tidak jauh berbeda mengajarkan. Kita bisa lihat semakin banyaknya percekcokan dalam persahabatan, perceraian di dalam keluarga, hidup mengejar harta kekayaan dengan dasar menggunakan ayat Kitab Suci, dan lain sebagainya.

Sikap dan perilaku kehidupan semakin jahat, ini telah dikatakan Firman, terlebih banyak orang percaya hidupnya semakin egois, bergereja untuk berbagi filolofi-filosofi, atau pun untuk sebuah eforia kerohanian (dari respons “suka/tidak suka”), maupun mengejar berkat-berkat jasmaniah semata. Teologian-teologian semakin berlomba menunjukan siapa dirinya yang lebih “hebat”, “pintar”,”banyak pendukung”.

Kehidupan tidak mengarahkan manusia kepada hidup Tuhan melalui keteladanan hidup mereka secara kesungguhan (melalui berpartisipasi dalam sebuah kehidupan kesehari-harian itu). Tetapi mereka lebih menggunakan orasi kotbah di atas mimbar bukan di kehidupan keseharian. St. Paulus berkata, “Kerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Filipi 2:12), pekerjaan keselamatan apa yang harus dikerjakan? Sebuah pesan untuk kita menghidupi sakramental, dan menjadi teladan bagi sesama manusia sebagai wujud mengasihi, agar dunia ini akhirnya mengikuti Kristus, bukan membenarkan pluralisme dengan iman.

Sebuah ironi, dampak sebuah sakramen yang hanya menjadi simbolis bukan sebuah kehidupan yang nyata bersama-sama Kristus seperti dikatakanNya “inilah Tubuhku.” Tidak banyak manusia tahu akan sakramen ini, tetapi mereka berpikir tidak jauh berbeda dengan penyembahan berhala yang dilakukan kepercayaan-kepercayaan. Terlebih banyak yang tidak lagi menghargai seperti, penerimaan Tubuh Kristus seperti yang bapa-bapa Gereja telah tetapkan (kanonkan), seperti ketika St. Paulus di 1 Korintus 11, jika kita menerima Perjamuan Kudus dengan tidak benar dan layak, ia berkata, “tidak sedikit mereka yang sakit dan yang mati”, ini adalah sakral dan kehidupan Ilahi sendiri. Manusia berdosa, jika menerima tidak dengan benar dan layak, adalah kekekalan di neraka. Gereja mencegah manusia terhilang, karena itu perintah Allah sendiri, dan kehendak Allah sendiri tidak mengingini ada manusia yang terhilang (Lukas 19:10).

Adakah di gereja-gereja denominasi memahami secara benar akan hal ini? Karena hanyalah sebuah simbol, bukanlah sebuah kehidupan. Berarti kehidupan sebuah kerohanian hanyalah sebatas perasaan dan simbolis, sehingga setiap orang memiliki caranya sendiri-sendiri yang tidak pernah sama, setiap orang boleh mengartikan sendiri-sendiri makna sebuah kerohanian. Adalah sebuah kengerian apabila kelak kenyataan terjadi tetapi telah terlambat.

Liturgi Tata Ibadah Atau Pekerjaan?

Melalui Sakramen menjadi sebuah kehidupan liturgi berarti melalui pekerjaan manusia. Denominasi tidak lagi mengenal sakramen dan ibadah itu “kehidupan”; Oleh karenanya liturgi hanyalah tata cara beribadah. Tata cara menyembah Allah yang bisa berbeda-beda satu sama lain, yang dibuat untuk acara-acara. Jikalau hanya sebatas tata cara, umat Kristen menjadi tidaklah berbeda dengan keagamaan-keagamaan duniawi lainnya (misal: Islam, Hindu, Buddha, Kong-Hu-Chu, Anemisme, Dinamisme yang terancangkan oleh tradisi kehidupan mereka), dan ini pun meskipun mereka satu kepercayaan, bisa memiliki tata-cara yang berbeda-beda (misal Buddha di Nepal dan Buddha di China; atau Hindu di India dan Hindu di Indonesia). Semakin jelas, jika Kekristenan sedemikian ini maka tidaklah jauh berbeda dengan mereka yang hidup bukanlah didasari kehendak Allah.

Kita harus jadi teladan untuk bisa membawa mereka, tetapi bagaimana kita akhirnya mengerti dan memahami, benarlah kita sedang menghidupi atau tidak menghidupi sebuah Pekerjaan yang Allah berikan kepada kita?
Untuk menjawabnya, kita harus kembali kepada apa yang bapa-bapa Gereja telah wariskan melalui sebutan “ritus”. Ritus di dalam Kekristenan adalah ajaran Kristus (peraturannya ada di kitab Imamat).

Ketika Kekristenan mulai menjalani kehidupannya yang dibawa oleh rasul, para murid (penerus rasul / bapa-bapa Gereja) mencatatkan “didache Rasul” dan kemudian diabad ke 2 ada “didaskalia”. Terkemudian terlahir Doktrin tetap masih berlaku hingga hari ini di Gereja yang katolik ini, yang dikanonkan dalam konsili Nicea 325.

Melalui semua itu kita hari ini haruslah mengambil bagian atas pekerjaan kita yang telah Allah tentukan, di waktu bersamaan kita mengerjakan itulah adalah penyembahan kepada Bapa di dalam Roh dan kebenaran. Dua hal yang tidak terpisah baik arti dan makna, tetapi saling melengkapi dan mengisi dalam kehidupan kerohanian kita.

Sakramen adalah Pekerjaan Manusia

Maka tidak mengherankan ketika kita membaca akan kota-kota Yerusalem, dan seluruh Yudea, dan seluruh wilayah di sekitar Sungai Yordan pergi kepada St. Yohanes Pembaptis dan “dibaptis olehnya di sungai Yordan, sambil mengaku dosa-dosa mereka” (Mat 3:6).

Dalam ibadah (persekutuan) terdapat Sakramen, disitu pengampunan menjadi sesuatu yang nyata, anugerah Allah dirasakan, membawa kita kepada pelepasan dan pendamaian, dan puncaknya adalah kesukacitaan sejati dirasakan meskipun masih hidup di dalam dunia. Melalui Sakramen anugerah keselamatan semakin disadari merupakan sebuah perjalanan hidup, jalan yang panjang, bukan sesuatu yang terjadi dalam sekejab. Keselamatan menjadi pintu gerbang di sebuah jalan Kerajaan Sorga, terbuka bagi siapapun yang percaya, dianugerahkan melalui Kasih Karunia Tuhan dengan cuma-cuma, dengan menerima pengudusanNya di dalam Sakramen.

St Paulus memberi nasehat “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, … marilah kita saling menasihati dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat

Tuhan Yesus telah meninggalkan teladan dalam bentuk sebuah kehidupan itu dan diwariskan para Rasul serta dilestarikan sampai hari ini dan diharapkan Tuhan juga kita berbuat hal yang sama bagi Dia. Dia berkata, “jadikanlah peringatan akan Aku” dalam hal ini peringatan adalah sebuah anamnesis. Anamnesis bukan berarti sebatas “sesuatu upacara peringatan untuk mengingat akan sesuatu yang pernah terjadi”, tetapi sebuah pengalaman dari pilihan kita (mengambil bagian) bersama Gereja dengan Sakaramentalnya, disitulah kita mengalami suatu kehidupan yang sedang terjadi di 2000 tahun lalu, diulang kembali di masa kini, kita yang di dunia dan di firdaus menyatu di dalam Sakramen bersama-sama mengalami hidup spiritualitas yang sama di dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

--

--

Stefanos Ian

A servant Subdeacon Stefanos from the Coptic Orthodox Church Yogyakarta. I am a writer, scholar, & social worker.