Sejarah Gereja Ortodoks Koptik (Part 2)

Stefanos Ian
8 min readJan 13, 2022

--

Mesir ditaklukan Arab (Abad ke 8)

Masa Penaklukan Arab

Di masa penaklukan Arab atas Mesir selama 4 abad, Gereja Koptik tetap terus berkembang di Mesir. Negeri yang saat itu mayoritas adalah beragama Kristen, membawa keuntungan untuk Gereja. Muhammad -Nabi Islam- pernah mengambil istri dari Mesir, yang bernama “Coptic Maria” (ia adalah ibu atas putranya yang bernama Ibrahim). Ia (Muhammad) memberi pernyataan: “ketika Anda menaklukkan Mesir, berbaik hatilah kepada orang Kristen Koptik, karena mereka orang-orang yang dilindungi, mereka adalah sahabat, dan saudara Anda. “

Melalui pernyataan ini Gereja Koptik diizinkan mempraktekkan kehidupan agamanya hingga tingkat otonom. Tetapi disisi lain, mereka (umat) diwajibkan membayar pajak khusus, yang disebut “Gezya”, untuk memenuhi syarat penguasa untuk mendapatkan perlindungan, atau disebut juga “Ahl Zemma” atau yang dilindungi. Tetapi orang-orang jika tidak mampu membayar pajak ini, mereka diperhadapkan pada pilihan, harus masuk Islam! Atau mereka kehilangan hak sipil sebagai “yang dilindungi” atau berarti mereka akan dibunuh penguasa.

Undang-undang ini berlaku pada umat Kristen Koptik di tahun 750 hingga 868 Masehi dan terulang kembali tahun 905 hingga 935 Masehi bawah kepemimpinan Kalifah Abbasiyah. Meskipun situasinya demikian, Kekristenan tetap bertumbuh dan makmur dan Gereja menikmati di era yang paling damai di Mesir. Gereja dapat melestarikan pengajarannya di pusat-pusat monastik, khususnya dari abad ke-8 hingga abad ke-11 tidak menunjukkan penurunan aktivitas kreatifitas dari Gereja Koptik. Gereja banyak melakukan kreatifitas seperti menenun, mengikat kulit, pelukis, dan pekerja kayu. Pun selama periode damai ini, bahasa Koptik pun berkembang sebagai bahasa ibu, hingga pertengahan abad ke-11. Banyak naskah liturgis dituliskan dalam bahasa Koptik-Arab, sesuatu yang pertama menggunakan dua bahasa.

Salah satu teks Alkitab bahasa Arab yang lengkap pertama di abad ke-13, dimasa Awlaad El-Assal (atau diartikan anak-anak dari Pembuat Madu). Dimasa ini hukum, norma-norma budaya dan tradisi hidup di kalangan umat Koptik menjadi sangat penting, dan hal ini hidup selama 500 tahun Islam di Mesir. Kemudian, penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari belum menjadi bagian orang Mesir. Hingga pada abad ke-15 masa Al-Makrizi, bahasa Koptik masih umum digunakan. Hari ini Bahasa Koptik masih menjadi bahasa liturgis Gereja.

Tetapi wajah Kristen Mesir mulai berubah di awal milenium kedua Masehi, di samping pajak “Gezya”, orang Koptik terkendala pembatasan-pembatasan, hal ini menjadi pengganggu serius terhadap kebebasan beribadah umat Koptik. Misalnya, tidak diperbolehkan memperbaiki Gereja yang mengalami kerusakan, atau membangun Gereja-Gereja baru; Gereja Koptik harus memberi kesaksian di pengadilan, Gereja harus menerima perilaku publik seperti situasi adopsi, atas warisan, dan kegiatan keagamaan diatur, hingga aturan berpakaian.

Akhir abad ke-12, dengan situasi pembatasan ini, wajah Mesir yang awalnya didominasi Kekristenan, perlahan-lahan menjadi negara yang didominasi Islam. Komunitas Koptik yang awalnya menduduki posisi inferior penuh pengharapan, dianggap musuh bagi Islam dengan banyaknya kekerasan yang terjadi. Kesejahteraan umat Koptik tidak lagi diperhatikan penguasa. Dalam kondisi ini penderitaan terjadi di umat Koptik, dan saat inilah umat Koptik kembali berada di titik terendah dibandingkan periode-periode sebelumnya sejak dibawah dinasti-dinasti Arab.

Gereja Koptik mulai membaik di awal abad ke 19, dengan adanya stabilitas dan kembalinya toleransi dibawah dinasti Muhammad Ali. Komunitas Koptik tidak lagi dianggap oleh negara sebagai unit administratif, dan di tahun 1855 pajak “Gezya” akhirnya dicabut, dan tak lama kemudian setelah itu, Gereja Koptik diijinkan untuk melayani umatnya yang bekerja sebagai tentara negeri Mesir.

Revolusi 1919 di Mesir, adalah awal identitas Mesir yang homogenitas (Koptik dan Islam bersama-sama) sebagai masyarakat modern. Hari ini, homogenitas telah membuat masyarakat Mesir bersatu melawan intoleransi agama dari kelompok-kelompok ekstremis, yang menjadikan orang-orang Koptik korban penganiayaan dan terorisme. Martir di masa modern kini, seperti Pastor Marcos Khalil, adalah pengingat keajaiban kelangsungan hidup Gereja Koptik.

Penganiayaan terhadap Gereja tetap ada, tetapi Gereja Koptik sebagai lembaga keagamaan tidak pernah ingin mengontrol maupun mengendalikan pemerintahan di Mesir. Posisi Gereja yang independen (memisahkan antara Negara dan Agama) telah dipegang sejak lama, pun berasal dari kata-kata Tuhan Yesus Kristus sendiri, dituliskan dalam Injil Matius 22:21, para pengikutnya tetap harus menghormati penguasa mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” .

Sehingga Gereja Koptik tidak akan melawan pihak pemerintah yang berwenang, dan tidak pernah mengambil bagian untuk bersekutu dengan kekuatan yang menentang pemerintah. Kata-kata Tuhan Yesus Kristus menjadi dasar hidup umat Koptik: “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang.’’ (Matius 26:52). Keberlangsungan hidup Gereja Koptik menjadi patokan yang membuktikan Gereja itu hidup dengan usianya yang kekal, dan pengajaran-Nya ini benar, Gereja tidak dipengaruhi alam maut.

Mukjizat Al Mokkatam

Pada abad 10M, 27 November 975, Mesir berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan dari sekte Fatimiyah yang menyebarkan agama baru, Islam, di Mesir dimana penduduknya waktu itu beragama Kristen Koptik dengan pusat keagamaan (Patriak) berada di Alexandria dan dipimpin oleh Patriak (sejajar dengan posisi Paus di Vatican, Roma) bernama Abraam.

Khalifah Fatimiyah pertama yang memimpin bernama Al-Muizz. Khalifah ini sedang memperbesar kekuasannya dengan mambangun sebuah kota baru di tanah Mesir dan Khalifah ini juga senang mengundang agama-agama lain yang ada di Mesir untuk berdebat, dan Khalifah orang yang sangat fair dan sangat menghargai ajaran agama-agama lain seperti Kristen dan Yahudi.

Ada orang yang tidak senang dengan kedatangan Khalifah yaitu Ibnu Killis. Sebelum Mesir jatuh ke tangan Khalifah, jabatan Ibnu Killis saat itu adalah sebagai Gubernur. Namun dengan datangnya Khalifah menguasai Mesir, maka Ibnu Killis pun mencoba untuk menyelamatkan diri dan jabatannya, dengan cara ikut membantu melancarkan dan menyukseskan proses penguasaan Mesir ke tangan Khalifah. Bahkan untuk merebut hati sang Khalifah, dia tidak segan-segan merubah kepercayaannya dari seorang pengikut Kristus (Kristen Koptik) menjadi seorang Muslim.

Ibnu Killis memberi tahu kepada Khalifah bahwa ada ayat di kitab orang Kristen di Perjanjian Baru Injil Matius 17:20 yang berbunyi : ‘Ia berkata kepada mereka: “Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, –maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu’.

Sang Khalifah memanggil Patriak Abraam bin Zara untuk meminta konfirmasi atas ayat tersebut. Patriak datang dan membenarkan adanya ayat tersebut seperti yang tertulis dalam injil Matius 17:20 pada Alkitab Perjanjian Baru. Lalu sang Khalifah meminta kepada Patriak untuk membuktikan kebenaran ajaran iman Kristen seperti apa yang tertulis dalam ayat tersebut. Apabila tidak berhasil membuktikannya sesuai dengan apa yang tertulis pada ayat tersebut, maka seluruh umat Kristiani di Mesir akan mendapatkan 3 macam ultimatum yaitu: pertama, seluruh umat Kristiani di Mesir harus meninggalkan ajaran Iman Kristennya dan berpindah agama sebagai pemeluk agama Islam; kedua, apabila tetap mempertahankan keimanan Kristennya, maka umat Kristen harus berpindah keluar dari tanah Mesir ke daerah/ negara lainnya; ketiga, apabila (1) dan (2) tidak dipenuhi, maka umat Kristen akan langsung berhadapan dengan pedang! Ini sama artinya dengan kematian bagi orang-orang Kristen Koptik!

Sang Patriak berdoa dan meminta kepada TUHAN untuk membimbingnya dalam menghadapi masalah tersebut. Setelah selesai berdoa, sang Patriak kemudian meminta waktu tiga hari untuk menjawab sekaligus membuktikan kepada sang Khalifah atas kebenaran ajaran Iman Kristen.

Sang Patriak lalu bergegas meninggalkan sang Khalifah dan pergi ke Gereja Al-Mu’allaqah/ Gereja Gantung (Hanging Curch) di Babylon (sekitar daerah kota Kairo lama). Gereja ini dipercaya sebagai tempat tinggal Keluarga Kudus selama pelarian mereka ke tanah Mesir dari kejaran Herodes (Matius 2:13–14, 19).

Patriak kemudian mengumpulkan para Uskup, pembantu Uskup, dan para biarawan, serta menyerukan kepada seluruh umat kristiani di Mesir untuk mulai saat itu juga berdoa dan berpuasa selama 3 hari ke depan. “Kita harus berdoa dan berpuasa selama tiga hari ini agar supaya Tuhan memberikan ampunan dalam kemegahan-Nya dan memberikan petunjuk-Nya untuk menghadapi masalah ini”.

Tepat saat fajar mulai menampakkan sinarnya di ufuk Timur pada hari ketiga, yaitu hari yang dijanjikan Patriak untuk menjawab permintaan sang Khalifah, Patriach Abraam bin Zara mendapatkan mimpi berjumpa dengan Bunda Maria yang menyarankan untuk menemui seseorang di dekat jembatan besi. Patriak bergegas menjumpai orang tersebut yang ternyata adalah seorang yang cacat mata (hanya tinggal satu mata saja yang masih bisa digunakan) bernama Simon sang tukang sepatu, tetapi profesi Simon saat itu adalah penjemur kulit binatang di perusahaan penyamakan kulit.

Simon terkejut atas mimpi Patriak Abraam bin Zara yang justru menyatakan bahwa dari dirinyalah “jawaban atas persoalan hidup matinya orang-orang Kristen Koptik Mesir ditentukan”. Padahal dia sendiri berpendapat bahwa dirinya adalah orang yang tidak layak dihadapan Tuhan karena banyaknya dosa yang telah dia lakukan dalam seluruh kehidupannya. Namun sang Patriak tetap bersikukuh atas pesan yang dia dapatkan tersebut, sehingga akhirnya Simon luruh hatinya. Kejadian yang aneh tiba-tiba terjadi pada diri Simon yang seolah-olah mendapatkan jawaban dari sorga tentang persoalan tersebut. Simon kemudian meminta syarat kepada sang Patriak agar apa yang sudah terjadi saat itu, tidak boleh diketahui oleh siapapun selama masa hidupnya. Sang Patriak menyetujui syarat yang diminta Simon.

Patriak lalu memberitahu sang Khalifah bahwa dia telah siap menjawab permintaan sang Khalifah dan mengundang Khalifah untuk pergi ke sisi timur dari gunung Muqattam. Patriak membawa serta seluruh bawahannya serta seluruh jemaat (termasuk sant.Simon sang penjemur kulit) berjalan ke arah gunung tersebut, sementara sang Khalifah berangkat bersama beberapa pembantu terdekatnya termasuk Ibnu Killis, Moses rekannya orang Yahudi, serta Ibnu Mina dan seluruh prajuritnya bergerak ke arah sisi lain gunung menempati posisi yang saling berhadapan dengan rombongan sang Patriak.

Setelah semua kelompok sudah berada pada posisi masing-masing, sang Patriak memulai upacara keagamaan diawali dengan sakramen kudus, lalu berkumandanglah “KYRIE ELEISON… KYRIE ELEISON…!” ( TUHAN kasihanilah kami… TUHAN kasihanilah kami…!) berkali-kali yang diserukan dari pagi hingga menjelang petang, dengan keyakinan iman yang penuh dan teguh! Begitu kuatnya keyakinan para pengikut Kristus sehingga sanggup menghadirkan suasana yang begitu kudus.

Setelah 400 kali ‘Kyrie Eleison’ dikumandangkan ( 100 kali menghadap timur, 100 kali mengadap barat, 100 kali menghadap utara dan 100 kali menghadap selatan ), suasana hening kembali untuk beberapa saat, lalu seluruh umat Kristus melakukan sujud sejenak kemudian bangkit berdiri dan sang Patriak memberikan tanda salib ke arah gunung. Pada saat itulah keajaiban terjadi! Gunung tiba-tiba bergerak terangkat dari permukaan tanah sehingga sinar matahari bisa terlihat dari celah-celah antara dasar gunung yang terangkat tersebut dengan permukaan tanah! Kemudian mereka berdoa terus….. dan pegunungan timur Mokattam berpindah kesebelah barat dengan jarak 3 kilo meter dari Kota Cairo.

Sang Khalifah dan para pengikutnya menjadi terbelalak, takjub, dan sangat ketakutan menyaksikan keajaiban yang sedang berlangsung tersebut. Sang Khalifah langsung berteriak sekuat tenaga mengucapkan ‘Allah Maha Besar; Puji syukur atas namaNya’ dan langsung pergi menuju tempat Patriak dan umat Kristus, meminta Patriak untuk menghentikan apa yang sedang Patriak dan umat Kristus lakukan, karena kuatir terhadap kota yang sedang dibangun akan hancur total akibat goncangan gempa yang ditimbulkannya.

Setelah semuanya kembali tenang, sang Khalifah kemudian mengaku ke Patriak Abraam: “Anda sudah membuktikan kebenaran Iman Kristen Anda!”. Setelah itu, Khalifah dihinggapi dengan rasa takut dan memeluk hangat Patriak Abraam dan ini adalah awal baru bagi persahabatan yang baik di antara mereka.

Setelah Khalifa ini melihat mujizat Tuhan maka ia merasa bahwa pekerjaannya yang ia geluti selama ini tidak ada artinya dihadapan Tuhan, akhirnya ia menyerahkan dirinya untuk mengikuti Tuhan, kemudian hari berikutnya dia dibaptis menjadi orang kristen dan namanya berubah menjadi Stefanus. Untuk menghindari protes orang lain maka Stefanus pindah ke padang gurun. Cerita ini telah tercatat dalam sejarah bangsa Mesir dan bahkan menceritakan mengapa sampai Khalifa pindah ke padang gurun dan sampai mati melayani Tuhan.

Khalifa yang menjadi Stefanus dikuburkan di antara jalan Cairo dan Alexandria yang lokasinya disebut Aldi Allmakrun tetapi ada juga yang mengatakan bahwa tulang belulangnya dipindahkan ke Gereja Gantung / Al-Mu’allaqah (Hanging Curch) di Babylon (sekitar daerah kota Kairo lama) tetapi tidak ada dokumen yang menceritakan dengan jelas atas kejadian ini.

--

--

Stefanos Ian
Stefanos Ian

Written by Stefanos Ian

In the Name of Father, Son And Holy Spirit, One God. Amin. I am a Subdeacon Stefanos a servant from the Coptic Orthodox Church in Yogyakarta Parish.

No responses yet