Apakah Peran Saya Untuk Diselamatkan? (Part.2)

Stefanos Ian
11 min readJun 28, 2023

--

Dengan dua cara sang penyelamat mengungkapkan cintanya kepada manusia yaitu melalui inkarnasinya yang dalam hal ini Ia membuang kematian dari kita dan memperbaharui kita; dan melalui karyaNya yang misteri dan juga yang tak terlihat agar Ia menjadi terlihat dan menjadikan diriNya sebagai Sabda Bapa, Dialah sang penguasa dan Raja Alam Semesta.

St. Athanasius, On the Incarnation

Kita melanjutkan ilmu soteorologi yang dalam pembukaannya di part.1 telah diperlihatkan bahwa keselamatan telah diajarkan para Rasul dan bapa-bapa Gereja yang Rasuli sejak abad pertama. Keselamatan itu ditawarkan kepada umat manusia demi mencegah kebinasaan kekal, dan apa yang telah dibagikan ini tidak pernah diperdebatkan oleh orang Kristen Ortodoks tetapi doktrin ini terus dilestarikan turun-temurun.
Sebaliknya pandangan soteorologi denominasi barat dalam 400 tahun terakhir tetap menjadi perdebatan yang belum terselesaikan dan semakin banyak perspektif-perspektif yang berkembang dalam ajaran-ajaran mereka. Maka ajaran akan teologi reformasi melalui kelima sola seperti: sola gratia, sola fide, sola scripture, solus Christus, dan soli deo Gloria merupakan ajaran yang tidak utuh dan lengkap, tetapi memiliki perspektif yang terpisah-pisah, dan antara satu teologis dengan teologis lainnya tidak ada kesatuannya.

Peran Manusia Dalam Keselamatan

Untuk bagian ini diawali sebuah pertanyaan, adakah peran kita untuk diselamatkan?

Seorang teologian Romania bernama Dumitru Staniloe (1903–1993) mengkritisi ajaran 5 sola reformasi bahwa ajaran itu telah menciptakan banyak perpecahan teologis dan membentuk ragam dan rupa pengajaran-pengajaran.

Kepada aliran reformasi jika ditanya tentang peran kemanusiaan kita dalam keselamatan, jawabannya pasti tidak ada! Atau tidak perlu ada bagian kita. Diselamatkan sudah pasti sejak kita percaya Tuhan Kristus saja; karena itu pekerjaan Tuhan Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia! Tetapi telogian reformer tidak semuanya setuju atas pandangan itu, ada juga penolakan terhadap pandangan sudah pasti selamat dengan adanya pertukaran (yang bersifat transaksional) yaitu orang boleh percaya tetapi keselamatan hanya akan diterima jika perbuatan-perbuatan nya melakukan pekerjaan yang baik sebanyak mungkin aga mnyenangkan hati Bapa, jikalau ada dosa maka keselamatannya akan hilang atau terhilang atau dibatalkan.

Maka terhadap pandangan-pandangan ini terlihat pekerjaan iman tidak lagi menjadi dasar keselamatannya atau sebaliknya pekerjaan iman menjadi bernilai gratisan/murahan, atau iman hanya sifat yang membedakan percaya dan tidak percaya.

Kritikan teologis para reformator terhadap Alkitab menjadi sangat diyakini menjadi sebuah pembenaran bahwa penebusan dosa itu telah selesai hanya cukup melalui penumpahan darah sang Putera di kayu salib. Didasari mereka dalam satu pernyataan Tuhan Yesus di kayu salib, “sudah selesai”. Telah ditafsirkannya bahwa pengorbanan-Nya ini telah membawa pendamaian dengan Bapa dan telah selesai, hutang sudah lunas dibayar, dan kita hanyalah orang-orang berhutang yang tidak akan mampu membayar.

Saya setuju dengan Dumitru Staniloe yang mengatakan bahwa pandangan para reformator sedang mengurangi makna nilai Kasih sang Putera Allah kepada umat manusia yang adalah ciptaanNya, apalagi harapan umat manusia bisa kembali didalam kebersamaan-Nya ketika masih hidup didunia dan kekekalan kelak. Para reformator tidak dapat mendeskripsikan hal adanya kebersamaan umat manusia dengan Allah karena salib hanya dipandang sebatas tindakan yang sudah seharusnya terjadi. Sifat pernyataan cinta-kasih-Nya terhadap musuh-musuh-Nya hanyalah tindakan kepatuhan dari sang Putera yang sempurna; jadi jika hanya sebatas ini mengapa sang Bapa harus mengutus PuteraNya ke dunia hanya untuk disalibkan?

Hal ini dibuktikan adanya pernyataan dari seorang Atheist yang berkata, bisa saja sang Bapa tidak perlu menunggu lagi penyaliban sang Putera, Dia bisa saja langsung mengubah keadaan manusia, atau membebaskan manusia dari jerat dosa, atau membuat langsung pertukaran dengan sang Putra yang membayar, memulihkan, dan menebus mereka langsung tidak didunia ini pasti ada dunia yang lain. Masuk akal pernyataan mereka ini, oleh karena perseteruan para teologian yang tidak kunjung selesai, membuat tidak masuk akal Allah itu sungguh ada bagi mereka, tetapi yang dipandang ada adalah manusia mengorbankan manusia.

400 tahun dasar kerangka pandangan reformator ini menghasilkan penuh skenario-skenario yang sepatutnya disesali kita, karena hasil pandangan-pandangannya telah menjadi saling bertentangan, anugerah keselamatan menjauh dari kesatuannya; ajarannya ini telah membentuk manusia percaya hanya sebatas memahami salib sebatas pemikiran retorik tafsir sehingga salib itu banyak dipandang sebagai tindakan pemuasan keadilan Allah. Sesungguhnya teologis para reformator telah melanggar dengan tidak melihat adanya keadilan Allah bagi umat manusia, dan banyak dari kita telah membenarkan pemikiran teologian reformasi ini; Kritikan Alkitab para reformator waktu lalu tanpa disadari sedang menghasilkan kritikan kepada St Yohanes, “engkau telah salah mendefinisikan Allah adalah kasih.”

Ini mengkonfirmasi pandangan beberapa teman saya yang lahir hanya percaya saja dan yakin keselamatan sudah diterima, tetapi disisi lain firman Allah ada tidak masuk diakalnya dan sulit Alkitab untuk dimengerti, terjadinya pembantaian manusia di Perjanjian Lama dilakukan umat Allah dengan maksud tujuannya jalan keselamatannya. Sampai dirinya melihat Allah bukanlah sesungguhnya sumber kasih, sumber kasih ada dari seauatu energi lain, jelas Allah juga penuh kemurkaan melalui banyaknya pertumpahan darah yang telah tertulis. Maka keselamatan bagi dirinya hanya menjadi pilihan cara didunia ini, mau cara sulit atau cara cepat hanya percaya kasih karunia Yesus saja.

Ada pernyataan bapa Gereja St Gregorius sang Teologian untuk menyikapi para reformator atas teori penebusan dosa yang umumnya telah diyakini denominasi, demikian

“Adanya kematian itu dimaksudkan supaya dosa tidak abadi. Sepertinya hidup ini menjadi sebuah perjalanan yang membosankan dan sia-sia jika akhirnya penciptaan dunia yang dijadikanNya ini hanya sebagai ruang penghakiman bagi para pelanggar hukum, dan para pelanggar hukum ini dijadikanNya hanya sebagai pusat tontonan; kemudian terjadi keselamatan itu, yang akhirnya sekedar demi pemuasan sang Hakim Agung karena darah Anak-Nya telah tercurah.” — St Gregory sang Teologian, Oration No.38, on the Theophany [PG36:324].

Maka dari itu, saya ingin mengatakan dengan tegas bahwa iman percaya dalam keselamatan bukanlah sekedar maksud (atau pikiran) yang keluar dari kepala, atau kata-kata menghibur bagi seseorang; iman juga bukan permainan mental. Beriman itu adalah cara hidup, sehingga seseorang yang memiliki iman perlu meresapinya di dalam kehidupannya, dia harus meyakini firman Allah melalui tindakannya yang mengakar dan sejalan kepada keyakinannya ini, St Paulus berkata “harus berbeda dengan dunia ini” (Roma 12:2), dan bahkan jika bisa dikatakan bahwa orang beriman itu tidak lagi rasional saat dipandang dari orang-orang yang tidak percaya.

Milikilah “pikiran Kristus” itu!

Seorang teologian Nicholas Cabasilas (abad ke 14) dari Byzantine ada berkomentar bahwa: rasa sakit, penderitaan dan kematian merupakan bagian kita dalam mempersiapan kehidupan kekal, maka “tidak masuk akal jika hidup hanya untuk kenikmatan yang jahat akhirnya mati.” Maka dari itu adanya “rasa terluka, rasa sakit, maupun adanya kematian ini semua sudah ada dalam rancangan Tuhan untuk melawan dosa! Karena itulah rasa sakit maupun kematian ini terjadi hanya setelah dosa menguasai, dan Tuhan tidak menghindarkan kita sehingga tidak mengalaminya. Meskipun kita mengalami penderitaan akan hal ini bukan berarti Ia sedang menjatuhkan hukuman kepada kita karena hidup dalam perbuatan dosa (bersalah) tetapi Dia menyediakan obat bagi orang yang terluka. Anugerah keselamatan adalah obat bagi orang yang terluka, tetapi tidak sampai disitu ketika dia sembuh dari lukanya, dia harus tahu langkah hidup apa yang harus dijalaninya oleh karena telah menerima anugerah ini.

Dalam Injil Lukas 15 telah diperlihatkan adanya kisah tentang seorang bapa yang membiarkan anaknya pergi meninggalkannya, dirinya berfoya-foya sampai akhirnya menyadari perbuatan dosanya itu adalah sebuah kesalahan, sehingga dirinya berdiri dan kembali. Si anak mengakui ketika bertemu bapanya [disini terlihat si anak berbicara dengan bebas] dan mendapatkan belas kasih bapanya [yang juga diberikan]. Dari kisah ini terlihat manusia diberi kehendak bebas, dan diperhadapkan pilihan: apakah itu hal yang baik atau kita memilih hal yang jahat?

Mengapa ada kehendak bebas dalam keselamatan?

Kita diciptakanNya menurut gambar dan rupa Allah, maka telah diberikan kepada manusia untuk memiliki kapasitas boleh berlaku/bertindak tanpa adanya batasan dan paksaan atau dikenal sebagai kehendak bebas.

Meskipun kita adalah anak-anakNya punya kehendak bebas, tetapi selayaknya kita bukanlah menjadi budak oleh kehendak bebas itu. St. Paulus menasehati jikalau kita mengakui diri sebagai anak-anak Allah selayaknya berlaku/bertindak dengan memiliki “pikiran Kristus” (1 Korintus 2:16; Filipi 2:5, 4:7).

“Pikiran Kristus” maksudnya adalah sebagaimana kita haruslah melakukan perbuatan, yaitu menunjukan kerendahan hati dan hidup dalam ketaatan seperti yang telah diteladankan Tuhan kita semasa di dunia, sehingga kita bisa melihat keselamatan kita.

Lebih lagi St. Paulus mengatakan ketika kita hidup mengikuti “pikiran Kristus”, dengan demikian kita sebagai manusia “[akan] mengaku ‘Yesus Kristus adalah Tuhan’ (Filipi 2:11).”

St. Paulus tidak berhenti memberikan nasehat ini sebatas “pengakuan”, dia melanjutkan dengan mengatakan
“hai saudara-saudaraku yang kekasih, ‘kamu senantiasa taat’;” Mengapa senantiasa taat? Karena ketaatan ini menjadi fondasi kita mengenali keselamatan, dikatakannya “karena itu tetaplah kerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan gentar, [bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir;] karena Allahlah yang mengerjakan didalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaanNya.” (Filipi 2:12–13).

Mengapa ada 2 pernyataan mendasar dari pernyataan Filipi 2:12–13?

  1. Pernyataan 1: Kerjakan keselamatan
  2. Pernyataan 2: Allahlah yang mengerjakan

Kedua pernyataan ini sepertinya kontradiksi satu sama lain. Tetapi kedua ini adalah paradoks (dua hal yang berbeda tetapi berjalan bersamaan), yaitu di dalam anugerah keselamatan Allah ada mengajak kita untuk bekerja-sama atau bersinergi (συνεργία — sinergia — Greek) denganNya untuk mencapai tujuan bersama (bukan sebatas percaya saja pasti selamat).

Maka sebagai Kristen kita punya peran yang menjadi bagian kita dalam hal ini kita bersinergi dengan Allah melalui keberadaan Roh Kudus yang hadir di dalam hidup kita.

Penolakan terhadap sinergi

Dalam mengartikan kerjasama atau kesinergian sering menimbulkan pertanyaan dikalangan teologian,

berapa banyakkah peran kita harus dilakukan dan seberapa sempurnakah, dan berapa banyak peran Allah?” Juga ada pernyataan “kita harus melakukan apa yang kita bisa lakukan, Allah akan melakukan apa yang kita tidak bisa lakukan.

Penolakan itu juga kepada pernyataan firman “hendaklah kamu sempurna” (Matius 5:48) dengan mengartikan “kita manusia tidak akan bisa sempurna, maka hanya melalui kemanusiaan Kristus saja siapapun yang percaya saja telah disempurnakan sekali untuk selamanya melalui dikuduskanNya”.

Ketahuilah pemikiran inilah menjadi pencobaan pada para teologian kala itu dan banyak hingga masa kini, oleh karena itu kita harus tahu dan waspada jangan sampai kita masuk dalam pemikiran seperti itu, janganlah membuat pertanyaan yang memisah-misahkan makna peran kita dan peran Allah ini!

Bukan jumlah banyaknya peran kita dan Allah, tetapi ketahuilah apa yang Allah selalu kerjakan di dalam diri kita adalah membawa kita akhirnya bekerja selama berjalan kepada kekekalan itu, dikatakan Tuhan Yesus “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya" (Yohanes 6:27) inilah yang terutama harus kita pahami sungguh-sungguh.

Bagaimanakah kita mengerjakan keselamatan?

Mengerjakan keselamatan bukan berarti harus bisa berbahasa roh, harus bisa bernubuat, tidak demikian!mengerjakan keselamatan hanya melalui sakramentalnya Gereja yang berasal dari kehendak Bapa; Inilah yang kita kerjakan untuk mensaksikan dan memaklumkan tentang Dia sungguhlah Allah itu yang telah berinkarnasi menjadi manusia melalui sang Perawan Maria bunda Allah (Theotokos), Dia pernah bersama-sama manusia, yang kemudian Dia disiksa, disalibkan sampai mati, dan dikuburkan, dan Dia bangkit pada hari yang ketiga, dan kemudian Dia naik ke sorga. Juga, Dia memberikan kita Roh KudusNya untuk bersama-sama kita, mengajarkan tentang Dia.

Maka anugerah keselamatan itu memiliki dua dorongan, yaitu dorongan anugerah keselamatanNya dan dorongan kehendak bebas manusia sehungga Allah tidak dapat menyelamatkan manusia tanpa kehendak bebas manusia untuk mau diselamatkanNya dengan mengikuti caraNya, penjelasan penting bahwa Allah membutuhkan tanggapan dan tindakan Anda demi menyelamatkan Anda.

Banyak tafsir ajaran yang akhirnya hanya menekankan hanya pada sifat anugerah keselamatan ini, karena dianggapnya bahwa anugerah itu tidak dapat ditolak manusia, dan kemudian anugerah itu akan membawa daya tarik yang luar biasa, cukup dengan kemudahan cara, yaitu “percaya saja” pasti diselamatkan.
Apa yang dilestarikan para Rasul Kristus dan bapa-bapa Gereja sejak abad pertama tidak sama dan Gereja Rasuli menolak jenis doktrinal anugerah keselamatan melalui “percaya saja” ini. Kita menjalani ajaran para Rasul Kristus dan bapa-bapa Gereja yang ada sejak abad pertama tanpa mengubah ajaran tetapi kita menghidupinya.

Manusia harus ada sinergia dengan Allah yang tidak dapat ditiadakan, dalam hal ini anugerah keselamatan dan kehendak bebasnya manusia keduanya harus bersinergi, maka jadilah sangat jelas telah tertulis dalam kitab Wahyu St Yohanes, “lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya, dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku” (Wahyu 3:20).

Meskipun Allah adalah pemrakarsa anugerah keselamatan ini, bagaimanapun Dia membutuhkan tanggapan dan tindakan kita.

Mari kita perhatikan “Aku berdiri di muka pintu dan mengetok,”
Ketahuilah, Allah tidak akan pernah memaksakan anugerahNya harus diterima (ketika Dia mengetok hati kita, kita mendengar ketokan itu, tetapi bukan saja didengar tanpa tindakan apa-apa dari kita, mendengar disini adalah bicara “pendengaran iman”) oleh karenanya juga anugerahNya tidak serta-merta langsung diberikan dengan “percaya saja” (tetapi kita pun harus membuka pintu hati kita, ini bicara tentang pekerjaan yang harus kita lakukan). Disinilah terlihat sinergi akan keduanya, ketika kita mendengar ketokannya, kita haruslah membuka pintu agar Dia pun masuk, ketika Dia didalam maka Dia akan mengajak kita bersinergi denganNya terus-menerus didalam hidup kita melakukan pekerjaan yang baik untuk mencapai kekekalan itu bersama-sama. Memahami kedua peran ini menjadi hal esensi.

Kita harus mensinergikan ketika mendengar ketokan itu, melalui iman dan perbuatan.

St. Yohanes Krisostomos berkata,
Allah tidak pernah akan menarik siapa pun kepada-Nya dengan paksaan dan kekerasan [dalam hal ini jika seseorang itu tidak mau Dia tidak memaksakan AnugerahNya]. Dia ingin semua manusia diselamatkan, tetapi Dia tidak pernah memaksa siapa pun untuk menerima keselamatan ini.” — St Yohanes Krisostomos — Sermon №9.

St. Kyrilos dari Yerusalem berkata, Demi Tuhan mengabulkan anugerah-Nya, tugas Anda adalah menerima anugerah itu dan menjaganya. — St Kyrilos dari Yerusalem — Orasi Kateketis 1, 4.

St Augustin juga berkata: “Jika Tuhan menciptakan Anda tanpa adanya kehendak bebas dalam diri Anda, maka Dia tidak akan menyelamatkan Anda juga tanpa perlunya kehendak Anda untuk diselamatkan. Maka melalui satu kehendak-Nya ini bertujuan membangun dua kehendak dalam komunikasi kasih.”

Kesimpulan

Ketika seorang Ortodoks ditanya, apakah kamu sudah pasti selamat? (seperti pandangan reformasi), jawabannya tegas, “tidak”. Sebagaimana apa yang kita pahami akan keselamatan, bahwa saya diselamatkan hanya oleh Tuhan Yesus Kristus, dan saat ini saya telah diberi keselamatan olehNya, hari ini mengalami keselamatan olehNya, dan akan diselamatkan diwaktu mendatang. Tetapi hal ini bukan berarti sekali percaya pasti diselamatkan, atau oleh keputusan saya percaya ini lalu diselamatkan, sehingga saya bisa berubah dari kematian dan sudah pasti masuk surga.
Harus selalu disadari bahwa saya adalah orang berdosa (bisa tetap berdosa), dan bagaimanapun ada firman yang mengatakan kepada saya bahwa saya harus bangun dari ranjang pembaringan dosa (Amsal 6:9). Karena dosa adalah natur dari kejatuhan, lihatlah iblis juga mengalami kejatuhan tetapi tidak pernah bangun dari dosanya. Natur kita berdosa, tetapi kita harus tetap bangkit selalu dari pembaringan dosa, meskipun bisa berulang kali mengalami keberdosaan, tetapi tetap harus bangkit kembali dan melihat bahwa sang mempelai Pria (Kristus) akan datang tengah malam yang kita tidak pernah tahu, oleh karena itu kita harus tetap berusaha bersiap sedia dalam segala waktu.

Jikalau keselamatan sudah pasti oleh keputusan percaya, maka saya tidak lagi melakukan apa-apa, ini bukanlah ajaran Alkitab, karena di Alkitab ada diajarkan tentang ketaatan, beriman adalah ketaatan kepada Tuhan Yesus Kristus. Di dalam Matius 25 perintah Tuhan sangat jelas bahwa saya harus memberi makan, memberi minum, memberi pakaian; seperti yang dikatakanNya ini haruslah saya melakukannya juga, jika tidak saya lakukan artinya saya masih dibawah kejatuhan itu, apakah saya akan diselamatkan? Tuhan Yesus berkata, “tidak”, melalui perkataannya saya akan ditaruh disebelah kiri bersama kambing-kambing itu, ditempatkan bersama malaikat-malaikat yang telah jatuh di neraka, artinya bisa saja saya tidak mengalami keselamatan, karena ada pekerjaan yang dikehendaki Bapa yang sejalan dengan keselamatan yang saya telah terima itu.

Maka, jika Anda tidak ingin mati saat ini, mulailah hargai hidup Anda, sebagaimana Anda menghargai keberadaan Anda, artinya Anda sedang menghargai sebuah anugerah kehidupan. Tidak ada kemestian seseorang mengasihi Allah. Allah adalah Allah, dan Ia tetap Allah, baik bersama atau tanpa adanya manusia. Bukan sesuatu yang dibutuhkan oleh-Nya, bukan juga akan menjadi keharusan yang dikehendaki, bukan juga yang diprasyaratkan.

Kejatuhan manusia membawa arah dirinya pada egoisme, membuat manusia mementingkan dirinya sendiri (sebuah kebalikan dari untuk mengasihi, menjadi mengasihi diri sendiri). Hal ini mengarahkan
kehidupan dalam ilusi, atau kepalsuan, kehidupan itu ke dalam dirinya sendiri. Terlepas dari kenyataan dan menjadi terasing dari asalnya. Sebuah realitas dasar bahwa kehidupan yang awalnya berasal dari Sang Tritunggal, telah menjadi buram dan gelap. Yaitu, manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri, seorang tuan yang palsu, dalam arti tertentu, tanpa disadarinya tuan yang palsu ini akan diambil darinya kapan saja.

Maka, adanya keselamatan menjadi misteri yang terlihat dan itu adalah kasihNya. Maka misteri ini harus diartikan dalam sakramental, yaitu menjadi sebuah praktik yang harus dihidupi orang beriman dikehidupannya terlebih di dalam Gereja, melalui adanya ritus-ritus, dan mengimani bahwa Tritunggal Mahakudus telah memberikan rahmat kepada kita yang beriman. Maka dengan demikian Anda menghargai hidup ini oleh karena Tuhan memberi Anda sesuatu yang sangat berharga. Inilah wujud dari pernyataan “aku mengasihi Tuhan Yesus” maka “aku pun mengikuti segala yang diperintahkanNya.”

Referensi

  • Fr. Tadros Malaty. Misteri Kasih. Gereja Ortodoks Koptik.
  • Dumitru Staniloae, The experience of God, III, p. 75- from the life in Christ, p.58.

--

--

Stefanos Ian
Stefanos Ian

Written by Stefanos Ian

A servant Subdeacon Stefanos from the Coptic Orthodox Church Yogyakarta. I am a writer, scholar, & social worker.

No responses yet